Laman

Thursday, September 7, 2017

Akulah yang bukan siapa-siapa



And, here there are again. Me.
Kondisi sekarang; lapar dengan semilir wangi pecel lele dan pikiran-pikiran sesak yang terus bermuculan ketika 15 menit jalan buah batu – kopo, Bandung.
Disini lagi ternyata aku sampai. Sejauh apa pun aku menghindar dari perasaan ini, ternyata dengan sendirinya ia bisa menemukan jalan menuju saya. Saya. Menuju patah hati.
Ini dimulai ketika bulan maret awal tahun ini, ia dengan ajaibnya muncul di layar sentuh telepon genggam yang sedari tadi dibiarkan tergeletak. Ia dengan ajaibnya membuat aku terlonjak dengan namanya. Ajaibnya, begitu mudahnya aku membuatnya kembali masuk dan mengusik hidupku. Yang sebelumnya baik-baik saja menuju tak baik-baik saja. Percakapan tengah malam, Bandung – Balik papan. Terdengar lucu memang, kenapa pula ia datang saat ia jauh, kenapa pula aku yang dipilihnya untuk menghabiskan malam. Begitu lucunya sampai tak aku sadari aku menahan kantuk walau tahu, diujung sana tak ada harapan yang dapat kugenggam takkan ada hasrat yang dapat ku rengkuh. Aku tahu aku akan berakhir patah dengan sendirinya
Bulan april, ia kembali datang mengucapkan selamat ulang tahun. Ini adalah tahun ke 7 aku mengenalnya, tepat 7 tahun lalu aku bertemu dan mengenalnya dan tepat 7 tahun yang lalu, aku tak pernah tahu jika 7 tahun pula aku jatuh cinta padanya. Pada bulan ini kembali lagi membuka perbincangan-sangat-panjang-lebar tentang ini-itu yang lagi-lagi aku tahu, didepan sana takkan ada harapan. Hanya janji –janji yang takkan dapat ditepati. Salah satunya berjanji bertemu 30 hari kedepan, tepat saat ia pulang ke Bandung. Walau aku tahu, aku tak boleh berharap banyak, itulah hal pertama yang telah kulanggar
Seperti janji-janji yang telah menguap, janji bertemu hanya bagai angin yang tak bergerak. Tak ada hikmah yang didapat selain pemakluman-pemakluman yang kupaksakan agar hatiku mengerti. Hanya disana. Aku tak berharap banyak
Agustus, terlalu memaksa memang. Tapi terkadang rasa penasaran ini begitu menjalar dengan sempurna hingga aku hanya mengikuti tanpa sadar apa yang sebenarnya terjadi.
26 Agustus. First's Mistake
Aku dan kamu bertemu. Aku hanya menyiapkan tali dan ketegaran hati. Menyakinkan dengan segenap hati bahwa semua akan baik-baik saja. Walaupun, disana aku tahu. Takkan ada hati yang baik-baik saja jika sudah berhubungan dengan kamu. Tidak akan ada hati sebaik sebelum aku bertemu kamu. Dan tidak akan ada hati yang sama sebelum aku mengenal kamu 7 tahun silam. Dan disanalah letak kesalahanku terbesar, membiarkan apa yang sudah aku takutkan sebelumnya, menjadi kenyataan. Hatiku aku biarkan terbawa olehmu, aku biarkan semuanya menjadi tak sesuai rencana.
Mungkin aku biarkan saja seperti ini, toh pada kenyataannya bukan aku yang menjadi terduga. Nyatanya dirimulah yang mulai mengungkit semua, dirimulah yang meletakkan semua yang ingin kau lakukan kepadaku. Atau mungkin salahkan saja aku dan kehendak hati yang ternyata tak sesuai dengan kehendak pikiran, dimana ia terus terlena dengan perlakuan dan perkata manis, walau ia tahu takkan ada harapan disana. Salahkan saja aku, jika nyatanya berbagi rasa ini terlampau berat bagimu.
Ya, salahkan saja aku, aku lah yang dengan bodohnya dibuat terlena terlampau jauh. Aku lah yang tahu takkan ada harapan disana tapi aku yang terus menarikmu. Aku yang bukan siapa-siapa dengan lancangnya membahas perihal rasa. Seharusnya aku tahu, dari dahulu, kamu tak pernah ingin menjadi pihak yang terluka dan tersalahkan. Tak apa. Serahkan saja peranan antagonis kepadaku, walaupun pada kenyataannya diriku lah yang paling banyak terluka. Sungguh tak mengapa. Aku siap patah hati.

No comments:

Post a Comment